Sistem Pemilu Ideal, Oleh : RISAL SUAIB, Alumni Fisip Unhas

  • Whatsapp

Sidrap, titikjurnal.com-Apakah ada sistem pemilu ideal? Pembelajar pemilu tak akan bertanya seperti itu. Pembelajar pemilu akan bertanya pada soal: dalam kondisi seperti apa sebuah sistem pemilu diterapkan dan bukan yang lain? Dan pembelajar pemilu pada akhirnya paham bahwa sekali sebuah sistem pemilu diterapkan, maka sistem pemilu itu akan bertahan lama.

Dalam konteks kasus, hal itu bisa dibuktikan di banyak tempat di negara demokrasi. Tapi, dalam konteks Indonesia, mengapa situasinya terbalik? Perbincangan terkait sistem pemilu hampir berlangsung sepanjang musim pemilu tiba. Dan Indonesia selalu gagap menghadapinya. Walhasil, perspektif Orwellian yang dikedepankan: sistem pemilu A lebih baik dari sistem pemilu B, atau sebaliknya.

By the way Jika ada yang menganggap bahwa sistem pemilu distrik (first past the post/single member district plurality) adalah yang terbaik. Maka yang bersangkutan tak baca hasil rekomendasi “Komisi Jenkins” di periode 90-an. Di mana, Inggris Raya sudah lama dilanda ketidak puasan terkait bekerjanya sistem pemilu distrik. Orang Scottish, Welsh dan Irish merasa tidak puas dengan sistem itu. Sehingga Komisi Jenkins mengeluarkan sebuah rekomendasi yang intinya adalah perlunya perubahan sistem pemilu dan sistem pemilu yang direkomendasikan adalah sistem “alternative vote”. Meski pun rekomendasi itu pada akhirnya tidak ditindak-lanjuti, dan sistem pemilu distrik tetap diterapkan hingga hari ini, tetapi sudah cukup untuk mengatakan bahwa idealitas terkait sebuah sistem pemilu adalah mitos. Apalagi jika seandainya terjadi agenda referendum di tahun 2010 terkait apakah masyarakat Inggris Raya setuju atau tidak untuk mengganti sistem pemilu distrik ke alternative vote?

By The Way Ada pengamat politik yang merekomendasi perubahan sistem pemilu perwakilan berimbang daftar terbuka berdasarkan mekanisme suara terbanyak ke sistem pemilu distrik karena alasan akuntabilitas dan politik uang.

Sang pengamat dan bersama banyak orang lainnya mendukung sistem pemilu distrik karena terkait soal akuntabilitas politisi. Keyakinan lama ini sepertinya berakhir menjadi mitos juga. Dalam banyak kasus, akuntabilitas politisi itu memang ada, tetapi politisi bertanggung-gugat bukan kepada pemilih melainkan kepada donatur dana kampanye; klub, dan; klik politisi.

Selain mitos akuntabilitas itu, juga terkait soal apakah betul sistem pemilu distrik dapat menekan angka politik uang hanya karena diketahui bahwa aturan sistem pemilu distrik adalah satu dapil satu kursi (kursi legislatif tunggal)? Sehingga dibangun asumsi bahwa politisi tak akan bermain uang karena tingginya angka pemilih yang harus diberi uang.

Nah, kita dapat menguji dua hal di atas dengan mengambil contoh kasus pemilu di pilkada. Kita tahu bahwa sistem pemilu di pilkada itu juga menggunakan sistem pemilu distrik (kursi eksekutif tunggal). Pertanyaannya kemudian adalah apakah angka politik uang rendah di pilkada? Apakah bupati dan walikota terpilih akuntabel ke para pemilih?

Sumber : RISAL SUAIB, Alumni Fisip Unhas

Berita Terkait